![]() |
Team 1 SDN Sekar 1 Kecamatan Sekar Bojonegoro |
“Ok, Mas.. sebentar lagi Stasiun Bjn.. ntar diboncengin ma Udin,” begitu jawaban singkat Mas Djagad Alie yang mengkoordinir tim inspirator untuk SDN Sekar I di Kecamatan Sekar Kaupaten Bojonegoro.
Tak lama kemudian KRD berhenti di stasiun. Saya segera mengontak Mas Udin mengabari kedatangan saya. Lewat SMS, saya juga mengabari bagaimana penampilan saya. Kaos biru, celana hitam. Ransel besar hitam.
Sembari menunggu Mas Udin, saya bergegas ke musholla untuk sholat jamak dan keluar stasiun untuk cari makan. Saya buru-buru melahap pecel seharga Rp 5.000 di jalan depan stasiun. Saya juga beli sebotol besar air untuk mengatisipasi perjalanan yang jauh dan panas.
Mas Udin datang, dan langsung mengenali penampilan gaya mbolang saya. Setelah basa-basi sejenak, Mas Udin membonceng saya dengan motornya. Mampir ke temannya sebentar, dia lalu ngebut membawa saya ke Wanatirta di Dander.
Perjalanan sekitar sebelas kilometer ke selatan itu kami tempuh dengan sepedamotor. Saat ada pom bensin, Mas Udin mampir dan mengisi penuh tanki motornya. “Tidak ada pom bensin lagi sampai Sekar,” Udin menjelaskan.
Di Dander, beberapa partisipan sudah datang. Saya berkenalan dengan sejumlah panitia, fasilitator, fotografer/kamerawan, dan pengajar. Sembari menunggu partisipan lain, saya sempatkan melihat-lihat kawasan wisata Wanatirta. Saya lihat lapangan golf-nya ditumbuhi rumput kering tinggi.
Setelah cukup banyak yang terkumpul, tim relawan segera berangkat. Pinginnya saya naik motor supaya bisa foto narsis di tengah jalan. Tapi, ternyata keadaannya berbeda. Mas Udin ternyata sudah punya boncengan istimewa. Jadi, saya ngikut mobil yang dikemudikan Mbak Hidayah.
Keputusan saya untuk bergegas makan dan shalat tadi tepat. Perjalanan sekitar 50 kilometer menuju Sekar itu membutuhkan waktu tiga jam. Berangkat pas Ashar, tiba sudah lewat Maghrib. Perut gak terlalu lapar, kewajiban sholat sudah tertuntaskan.
Awal perjalanan, iring-iringan lancar. Namun, memasuki kawasan Gondang, tantangan mulai terasa. Menaiki kawasan Gunung Pandan, banyak jalan berkelok-kelok, tanjakan-turunan, dan sebagian rusak atau berdebu. Puncaknya saat kami melewati kawasan yang disebut Atas Angin yang dikelilingi bukit-bukit gamping putih. Sepanjang jalan terlihat hutan panas dan meranggas karena kemarau. Saya bayangkan, mungkin rally Qatar atau Yordania seperti begini rasanya.
![]() |
Suasana SDN Sekar 1 |
Tikar digelar di tengah suasana sejuk sore, panitia melakukan rapat koordinasi. Saya lihat Mbak Nova Wijaya, koordinator Kelas Inspirasi Bojonegoro, mencek kesiapan. Nah, saya juga baru menyadari jumlah relawan 97 orang yang terdiri dari inspirator, fasilitator, panitia, dan fotografer/ videografer. Bisa dimaklumi jika parkir SDN Sekar I dipenuhi tiga mobil dan puluhan sepeda motor.
Kelas inspirasi Bojonegoro yang kedua ini dipusatkan di satu kecamatan. Berlangsung 29 September 2014, operasinya di delapan sekolah; SDN Sekar I, SDN Sekar II, Miyono I, Miyono II, Bareng II, Bobol V, Klino I dan Klino II.
Saya, yang berprofesi sebagai Penulis, ditempatkan di Sekar I. Inspirator lainnya di situ adalah Mas Riesthandie Christianto superintendent di PT Untung Bersama Sejahtera di Surabaya, Mbak Siti Nur Hidayah pemilik bisnis handcraft Zahida di Bojonegoro, dan Mas Abdul Ghoni Dosen IKIP PGRI Bojonegoro.
Dibanding para inspirator di SDN Sekar I ini, saya merasa minder. Ya, karena kalah segalanya. Sama Mbah Hidayah, saya kalah tinggi (dan jelas kalah cantik). Sama Mas Riesthandie, saya kalah keren (dan kalah tinggi juga). Sama Mas Ghoni, saya kalah kelas (Mas Ghoni masuk kelas berat dan saya kelas welter ringan).
Di SDN Sekar I ini, juga dilibatkan tim pendukung. Mas Djagad Alie jadi Fasilitator dibantu Mas M. Aminuddin, Mas Kharis Wahyudi, Mas Didik Jatmiko, Mas Edi Supraeko, Mbak Lina Nurfita, Mas Abdul Rohman Zaki, dan Mas Mulyanto sebagai panitia dan juru rekam gambar. Dibanding mereka, saya juga merasa kalah (kalah narsis karena mereka lebih suka foto-fotoan).
Kembali ke rapat.
Dianggap persiapan sudah cukup, Mbak Nova meminta relawan mengerjakan tugas masing-masing usai rapat. Ada yang mempersiapkan perlengkapan games, ada yang melatih kekompakan yel-yel, ada yang main gitar untuk berbagi inspirasi. Saya sendiri bersama tim Sekar I membungkus bingkisan untuk dihadiahkan pada murid-murid.
Untuk urusan makan, kebetulan ada warung buka. Namun, saat saya bersama 12 relawan pesan makanan, yang tersisa cuma nasi setengah termos dan bumbu pecel (tanpa sayur) dengan beberapa tempe goreng dan ayam goreng. Saya pesan wedang jahe untuk penghangat, relawan lain pesan minuman berbeda.
Terus? Balik ke base camp, mengantuk, dan bersiap tidur. Nah, urusan tidur ini juga diselesaikan dengan semangat relawan. Beberapa guru dan penduduk menawarkan tempat. Namun, sebagian besar relawan memilih tidur di ruang guru di SDN Sekar I. Tak pelak, ruang guru dan terasnya dipenuhi orang berbaring berbagai pose.
Lumayan, tidur berjubelan bisa menghangatkan suasana dingin. Repotnya, badan gak leluasa mulet seperti kalau saya tidur di rumah sendiri. Saya memilih tidur di tepi matras untuk memberi ruang cukup luas pada yang lain untuk tidur.
Subuh, sebagian peserta bangun. Sebagian menuju mushola terdekat, termasuk saya. Selain untuk sholat, mereka juga butuh kamar kecil. Banyak yang ingin pipis, sebagian menyempatkan diri mandi, namun sebagian lagi tidak punya waktu. Maklum, banyaknya populasi tidak sebanding dengan mepetnya waktu.
Ya, mepet sekali. Saat jam masih menunjukkan 6.00, saat pembenahan bekas-bekas tempat tidur di ruang guru belum usai, murid-murid sudah berdatangan. Tak pelak, bersih-bersih ruang guru dan halaman dilakukan dengan gerak cepat dan massal.
![]() |
Hari Inspirasi Kelas Inspirasi Bojonegoro, SDN Sekar 1 |
Selesai upacara di lapangan, sesi inspiasi langsung digelar di kelas.
![]() |
Teguh Wahyu Utomo ( Penulis ) |
Sesi pertama, 7.30 - 8.10, saya di kelas 6, Mbak Hidayah di kelas 3+4, Mas Ghoni di kelas 5, dan Mas Riesthandie istirahat.
Di setiap kelas, saya memulai dengan pertanyaan sederhana; “Siapa yang punya cita-cita bukan jadi dokter?” Umumnya, yang mengacungkan jari tak sampai separo kelas. Ya, dokter memang menjadi cita-cita yang paling populer di SDN Sekar I. Entah itu cita-cita murni si anak atau cita-cita yang disodorkan orang tua pada anak.
Kepada yang mengacungkan tangan, saya tanya apa cita-citanya. Kebanyakan menjawab jadi polisi dan tentara. Yang populer lainnya adalah menjadi guru. Namun, ada beberapa yang bercita-cita ‘aneh’.
Terkait ‘aneh’ ini, ada satu anak yang mendapat reaksi dari teman-temannya. Saat saya bertanya cita-citanya apa, anak yang hadir di kelas 3+4 ini menjawab, “Jadi Polwan.” Teman-temannya tertawa gemuruh karena anak ini laki-laki. Saya segera mendekati anak ini, menepuk bahunya, dan berkata, “Polwan itu untuk wanita. Adik kan pakai celana. Jadi, adik lebih cocok jadi polisi.”
Saya lalu nasihatkan pada semua murid, apa pun cita-cita yang mereka angankan maka mereka harus serius dan bekerja keras untuk mewujudkannya.
Kepada yang tidak mengacungkan tangan, saya coba pancing dengan pertanyaan, “Kalau ingin jadi dokter, apa sudah tahu caranya?” Nah, jawaban mereka umumnya sangat abstrak. “Rajin belajar dan menabung.”
Tentu saja jawaban mereka tidak keliru, namun belum sangat jelas. Maka, saya jelaskan bahwa setiap cita-cita tentu memiliki jalan berbeda untuk ditempuh, “Setelah lulus SD, kalian harus melanjutkan sekolah sampai masuk ke Fakultas Kedokteran. Setelah lulus ujian teori dan praktek, kalian baru boleh jadi dokter.”
Terkait dengan profesi penulis, tak seorang pun anak membayangkan. Yang mereka kenal cuma pekerjaan juru tulis. Ketika saya tunjukkan gambar J. K. Rowling, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Namun, saat saya tunjukkan gambar Daniel Radcliffe, sebagian mereka bilang, “Ah, itu Harry Potter.”
Lalu, saya jelaskan, Rowling itu si penulis novel Harry Potter yang ceritanya bisa disaksikan di televisi. Saya jelaskan juga, Rowling menjalani hidup relatif miskin hingga terpaksa menulis di warung-warung. Nasibnya berubah ketika novel Harry Potter laku keras di dunia dan difilmkan. Lewat menulis, Rowling mengubah diri dari janda miskin menjadi salah satu wanita terkaya di dunia.
Saya juga tunjukkan gambar R. A. Kartini. Sebagian murid mengenali, sebagian tidak. Ketika saya tanyakan siapa R. A. Katini, banyak yang menjawab dia pahlawan nasional. Ketika saya tanya bagaimana Kartini menjadi pahlawan, tidak ada yang menjawab.
Saya jelaskan, ide-ide perjuangan R. A. Kartini itu bisa dilihat dalam buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang.’ Saya jelaskan pula, buku itu kumpulan surat-surat yang ditulis Kartini pada temannya Mr Abendanon di Belanda. Saya tekankan, menulis bisa membaut seseorang jadi pahlawan.
Saya juga memberi beberapa contoh penulis profesional, termasuk beberapa contoh buku saya. Lalu, saya ceritakan bahwa saya bisa jalan-jalan ke berbagai penjuru dunia yak arena menulis. Saat saya sebut saya pernah ke Amerika, mereka terkesima, “Wooow.” Begitu juga saat saya bilang saya pernah ke Jepang dan beberapa Negara lainnya.
Lalu, saya tekankan, “Dengan menulis, orang bisa kaya. Dengan menulis, orang bisa jadi pahlawan. Dengan menulis, orang bisa keliling dunia. Dengan menulis, orang bisa jadi apa saja.”
Nah, saat mengakhiri salah satu sesi kelas inspirasi, saya bertanya pada murid-murid, “Ada kah yang sekarang punya cita-cita jadi penulis?”
Olala…tidak ada satu pun yang mengacungkan tangan atau berteriak, “Saya…”
Ternyata, saya belum bisa menginspirasi mereka.
- Teguh Wahyu Utomo ( Penulis )
- Bayu Dwi Dayanto ( Fotografer )
0 $type={blogger}:
Posting Komentar